Sunday, November 16, 2014

Makalah Munakahat Dalam Islam



MAKALAH MUNAKAHAT DALAM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“FIKIH”



Disusun Oleh:
Kelompok  VII

Ø Fuji Lestari
Ø Herlinda Suara
Ø Hermawati
Ø Hilma Ramadhani Siagian
Ø Musthafa

MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (MPI-3)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
ISNTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2013


KATA  PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat taufik dan hidayah – Nya sehingga Penulisan Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah  kami  ini berjudul “MUNAKAHAT “, didalam Makalah kami ini terdapat beberapa pembahasan diantaranya, Pengertian Pernikahan, Tujuan Pernikahan, Mahar, Batalnya Pernikahan, Hak dan kewajiban suami dan istri, Pemeliharaan anak dalam Pernikahan dan Rujuk.
Kami  menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu dikarenakan kemampuan kami yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan serta bimbingan dari Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari  berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami berharap dengan penulisan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan prestasi dimasa yang akan datang.


                                                                                    Medan,    November  2013    



                                                                                                 Pemakalah










DAFTAR  ISI
     Kata Pengantar.............................................................................................................. i
     Daftar isi....................................................................................................................... ii
     Bab I
     Pendahuluan
A.    Latar belakang............................................................................................... 1
B.     Rumusan masalah.......................................................................................... 1
     Bab II
     Pembahasan
A.    Pengertian Pernikahan................................................................................... 2
B.     Tujuan Pernikahan......................................................................................... 6
C.     Mahar............................................................................................................ 7
D.    Batalnya Pernikahan...................................................................................... 8
E.     Han dan Kewajiban Suami dan Istri............................................................. 9
F.      Pemeliharaan Anak dan Perwalian.............................................................. 10
G.    Rujuk........................................................................................................... 12
Bab III
Penutup
A.    Kesimpulan.................................................................................................. 14
B.     Saran............................................................................................................ 14
Daftar Pustaka...........................................................................................................      15













BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR  BELAKANG.
 Munakahat berarti pernikahan  atau perkawinan. Kata dasar pernikahan  adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam.
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dalan mendapatkan keturunan yang sah.  Nikah adalah fitrah yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT.  Tujuan pernikahan adalah  untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam usaha meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia. Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi bahasannya adalah rukun dan syarat pernikahan  yang akan coba kita pelajari perbandingannya dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu pernikahan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut hukum agama/fiqih munakahat atau pemerintah (Kompilasi Hukum Islam). Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak terpenuhi maka mengakibatkan  tidak  sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah satunya.


B.       RUMUSAN  MASALAH
·         Pengertian, Tujuan dan Mahar Pernikahan
·         Batalnya Pernikahan
·         Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
·         Pemeliharaan anak dan Perwalian



BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Pernikahan
Secara bahasa (etimologi), nikah mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggamah (wath’i). Dalam istilah bahasa indonesia, nikah sering disebut dengan “kawin”.[1]
Dalam Pasal 1 Bab I, UU perkawinan No. 1 tahun 1974, Perkawinan atau Pernikahan di definisikan sebagai berikut :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan  membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perkawinan atau pernikahan adalah : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntunan agama.” Ada juga yang mengartikan “Suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang pria dan wanita untuk menhalalkan hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh  syari’at Islam”.
Ijab ialah suatu pernyataan berupa penyerahan dari seorang wali perempuan atau wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.  Qabul ialah suatu pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali perempuan atau wakilnya sebagaimana dimaksud diatas.
Nikah adalah salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat dihindari. Allah swt berfirman dalam ( QS. An-nisa’ : 3)





Artinya :
“Nikahilah  wanita-wanita yang kamu senangi: dua,tiga, atau empat, kemudian jika tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja.”

1.      Hukum Pernikahan
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
·         Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
·          Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
·         Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
·         Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
·          Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.

2.      Pengertian dan hukum khitbah
Yang dimaksud dengan meminang atau khitbah atau melamar adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya dengan cara yang baik.
·         Perempuan yang akan dipinang harus memiliki syarat sebagai berikut :
ü  Tidak terikat oleh akad pernikahan
ü  Tidak berada dalam masa iddah talak raj’i
ü  Bukan pinangan laki-laki lain
·         Cara mengajukan pinangan
ü  Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnyan boleh dinyatakan secara terang-terangan.
ü  Pinangan kepada janda yang masih dalam  thalaq bain atau iddah ditinggal wafat suaminya, tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada mereka hanya dilakukan secara sindiran saja.

3.      Pengertian Mahram Nikah dan Pembagiannya
Yang dimaksud dengan mahram adalah perempuan-perempuan yang haram atau tidak boleh dinikahi, baikdisebabkan oleh faktor keturunan, persusuan, maupun perkawinan.
·         Faktor keturunan
1)      Ibu
2)      Ibu dari Ibu (nenek) dan  seterusnya keatas
3)      Anak, cucu dan seterusnya kebawah
4)      Saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan seibu
5)      Saudara perempuan ayah
6)      Saudara perempuan ibu
7)      Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah
8)      Anak Perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya kebawah

·         Faktor Persusuan
1)      Ibu yang menyusui
2)      Saudara perempuan sepersusuan

·         Faktor Perkawinan
1)      Ibu dari istri (mertua)
2)      Anak tiri jika ibunya sudah digauli
3)      Istri dari anak (menantu)
4)      Istri bapak (ibu tiri)

4.      Rukun dan Syarat Nikah
1)      Calon suami dengan syarat sebagai berikut :
1)      Muslim
2)      Merdeka
3)      Berakal
4)      Benar-benar laki-laki
5)      Adil
6)      Tidak beristri empat
7)      Tidak mampunyai hubungan mahram dengan calon istri
8)      Tidak sedang berihram haji atau umrah
2)      Calon istri dengan syarat sebagi berikut:
1)      Muslimah atau benar-benar perempuan
2)      Telah mendapat izin dari walinya
3)      Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah
4)      Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami
5)      Tidak sedang berihram haji atau umrah
3)      Shighat (ijab dan qabul) dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Lafadz ijab qabul harus lafadz nikah atau tazwij
2)      Lafadz ijab qabul bukan kata-kata kinayah (kiasan)
3)      Lafadz ijab qabul tidak dita’lilkan (dikaitkan) dengan suatu syarat tertentu.
4)      Lafadz ijab qabul harus terjadi pada satu majlis. Maksudnya lafadz ijab qabul harus segera diucapkan setelah ijab.
4)      Wali calon pengantin perempuan, dengan syarat sebagai berikut:
1)      Muslim
2)      Berakal
3)      Tidak fasik
4)      Laki-laki
5)      Mempunyai hak untuk menjadi wali
5)      Dua orang saksi, dengan syarat sebagai berikut:
1)      Muslim
2)      Baligh
3)      Berakal
4)      Merdeka
5)      Laki-laki
6)      Adil
7)      Pendengarannya dan penglihatannya sempurna
8)      Memehami bahasa yang diucapkan dalam ijab qabul
9)      Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah.[2]

5.      Macam-macam pernikahan Terlarang
1)      Nikah mut’ah ialah nikah yang diniatkan hanya untuk bersenang-senang dan hanya untuk jangka waktu tertentu.
2)      Nikah syighar adalah pernikahan yang didasarkan kepada janji atau kesepakatan penukaran
3)      Nikah muhallil yaitu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk menghalalkan perempuan yang dinikahinya agar dinikahi lagi oleh mantan suaminya yang telah mentalak tiga.
4)      Pernikahan silang adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama atau keyakinan.
5)      Pernikahan khadan (gundik atau piaraan baik laki-laki yang dijadikan wanita sebagai gundik maupun wanita yang menjadikan laki-laki sebagai gundik)

B.       Tujuan Pernikahan
Islam begitu menekankan lembaga pernikahan. Tentu saja ada tujuan yang jelas. Secara umum menerima baik lembaga pernikahan agar setiap orang memperoleh perrsiapan dan perasaan seksual. Sebagai mekanisme untuk mengurangi ketegangan, membiarkan keturunan dan kedudukan sosial seseorang secara absah, serta memperkuat pendekatan dalam keluarga dan solidaritas kelompok.
Sepintas boleh jadi  ada yang berkata, apalagi muda mudi, bahwa “pemenuhan  kebutuhan seksual merupakan tujuan utama pernikahan, dan dengan demikian  demikian fungsi utamanya adalah reproduksi”.
Tingakatan dari nilai suatu pernikahan memang berbeda-beda dan islam justru bertujuan untuk meningkatkan derajat manusia itu lewat pernikahan, menciptakan ketenangan dan melahirkan keturunan atas dasar cinta dan kasih sayang. Menurut Harun Nasution perkawinan tidak berdasarkan dengan cinta dan kasih sayang, apalagi yang dipaksakan tidak akan  mewujudkan kebahagiaan yang kokoh sendinya. Perselisihan dan percecokan akan timbul dalam keluarga yang demikian. Kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup berkeluarga tidak tercapai.
Tujuan utama pernikahan dalam islam adalah :
1.     Untuk memenuhi Tuntunan naluri manusia yang Asasi
2.     Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur
3.     Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
4.     Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah
5.     Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

C.       Mahar
Mahar atau maskawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, baik berupa uang atau barang  (harta benda). Sebagai suatu pemberian yang wajib dari seorang calon suami yang muslim untuk calon istrinya, mahar dalam Al-quran diungkapkan dalam firman Allah QS An-nisa’ : 4



Artinya : “Berikan maskawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.
            Pemberian maskawin ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah; dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itu pun sah.[3] Agama menganjurkan agar mahar dibrikan merupakan sesuatu berbentuk materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai memiliki kemampuan.
            Banyaknya maskawin itu tidak dibatasi oleh syariat islam,melainkan menurut kemampuan suami beserta keridaan istri. Sungguhpun demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya; karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi hutang atas suami, dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain.
Telah merupakan suatu kenyataan bahwa dengan tidak ditentukannya jumlah suatu mahar secara tetap maka memberikan gambaran bahwa perkawinan itu bukan suatu yang sulit dan mahal.
            Sekalipun kadar mahar tidak ditentukan, namun sebagai pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri, mahar yang dikemukakan oleh Al-Jaziri mempunyai beberapa syarat :
1)       Benda yang mempunyai nilai
2)      Benda yang suci dan dapat dimanfaatkan.
3)      Benda mahar bukan sedang dirampok orang yang tidak sanggup menyerahkannya, maka mahar itu tidak sah sekalipun akadnya tetap sah. Dan untuk wanita itu jatuh menjadi mahar mitsil.
4)      Benda mahar itu bukan benda yang tidak diketahui ciri-cirinya misalnya: pakaian, hewan tunggangan atau hewan sembelihan. Tanpa menjelaskan cirinya. Maka mahar wanita itu jatuhnya menjadi mahar mitsil.

Selain itu, pembayaran mahar boleh dilakukan dengan tunai dan boleh dilakukan dengan hutang (ditangguhkan) seluruhya disamping dibenarkan pula membayar sebahagian yang lain. Dalam hal ini suami yang kemudian menceraikan istrinyapadahal ia belum melakukan hubungan seksual dengan istrinya itu ia hanya berkewajiban untuk membayar separoh saja dari jumlah mahar yang telah ditentukan. Tapi bagi suami yang pernah menggauli istrinya kemudian cerai atau tidak cerai dia tetap kewajiban membayar semua mahar.[4]
Menyegerahkan pembayaran mahar merupakan salah satu perbuatan yang dianjurkan oleh syariat. Bahkan menurut sebahagian ulama, diantaranya Ibn Al-Muhzir, seorang istri yang  sama sekali belum menerima pemberian mahar dari suaminya, dibenarkan tidak berdosa menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan seksual.

D.       Batalnya Pernikahan
Tentang  batal atau tidak berlakunya pernikahan ialah apabila ternyata laki-lakinya menipu wanitanya atau wanita menipu laki-lakinya. Misalnya laki-laki yang mandul sehigga tidak mungkin dapat memiliki anak. Sementara wanita sebelumnya tidak mengetahui maka dalam hal ini wanita itu berhak membatalkan pernikahannya dan meminta fasakh. Kecuali kalau wanitanya tetap real dan ingin bergaul dengan laki-laki tadi, dalam keadaan mandul yang telah mengawininya. Seorang perempuan “memberitahukan kepadanya kemandulanmu itu serahkanlah kepadanya untuk menentukannya”.
Bentuk penipuan lain seorang laki-laki ingin menikahi wanita, secara lahirinyah kelihatan jujur, tetapi kemudian ternyata ia adalah pasik. Demikian juga halnya perkawinan dianggap batal apabila ternyata kemudian suami menemukan istri mempunyai cacat yang mengurangi kemampuan pergaulan suami istri. Sedangkan cacat pada laki-laki yang boleh dijadikan dasar membatalkan perkawinan ialah penyakit-penyakit yang menjijikan seperti burik, gilak, dan kusta, lemah sahwat, kemaluannya buntung atau kecil.
Ada juga para ulama yang berpendapat bahwa suatu perkawinan tidak dapat dibatalkan karena adanya cacat. Walau bagaimana pun cacatnya.
  
E.       Hak dan kewajiban Suami dan Istri
 Adanya pernikahan  mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban yang tidak ada sebelumnya. Antara hak dan kewajiban saling ada keterkaitan. Kewajiban suami kepada istri menjadi hak bagi istri dan kewajiban istri kepada suami menjadi hak bagi suami. Secara garis besar hak dan kewajiban suami dan istri dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1)      Kewajiban suami (hak istri)
a.       Membayar mahar.
b.      Memberikan nafkah dengan ma’ruf (baik) baik berupa pangan, sandang, papan, kesehatan dan lain-lain.
c.       Menggauli istri dengan ma’ruf (mu’asyarah bil-ma’ruf) yaitu dengan cara-cara yang penuh kasih dan sayang karena Allah Ta’ala.
d.      Memimpin keluarga sehingga terbentuk keluarga yang harmonis.
e.       Mendidik dan membimbing seluruh anggota keluarga kejalan yan benar.
f.       Adil dan bijaksana terhadap anggota keluarga.

2)      Kewajiban istri (hak suami)
a.       Mentaati suami jika meminta atau memerintah, kecuali jika memerintahkan kepada perbuatan yang munkar.
b.      Menjaga diri dan kehormatan keluarga.
c.       Menjaga harta dan kepunyaan suami.
d.      Mengatur rumah tangga.
e.       Mendidik anak.

3)      Kewajiban bersama
a.       Menjaga nama baik seluruh anggota keluarga.
b.      Menghormati dan berbuat baik kepada keluarga keduanya.
c.       Memelihara kepercayaan diri dan menyimpan rahasia rumah tangga dan memelihara keutuhannya.
d.      Mewujudkan pergaulan yang serasi, rukun, damai dan saling pengertia.
e.       Memelihara dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang.
f.       Memaafkan kesalahan orang lain.
g.      Sabar dan menyadari kekurangan yang ada pada diri masing-masing.
h.      Bijaksana dalam memecahkan masalah keluarga.[5]

F.        Pemeliharaan Anak dan Perwalian
Salah satu tujuan yang berhak dicapai oleh agama islam denngan mensyariaatkan pernikahan adalah lahirnya anak sebagai pelanjut keturunan, bersih  keturunannya, jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya. Dengan demikianlaj jelaslah yang bertanggung jawab terhadap anak itu dalam menjaga, membesarkan, mendidik sehingga menjadi seorang anak yang saleh kelak kemudian hari, dikala ia telah mukallaf. Karena syariat islam melarang segala perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya bapak seorang anak, seperti perbuatan zina, pergaulan bebas laki-laki dan perempuan dan segala perbuatan yang dapat mengarah kepada hal tersebut.
a.       Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasalah dari kata “hidhn” yang artinya bagian samping tubuh yang bisa dipergunakan untuk menggendong anak kecil. Dalam kaitan dengan kehidupan rumah tangga Hadhanah dipergunakan sebagai istilah dengan pengertian mengasuh, memelihara dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz.
“Hadhanah” menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau pangkuan. Sedangkan menurut istilah ialah Pendidikan dan pemeliharaan anak sejak ia lahir sampai ia sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan kerabat anak itu.

b.      Yang berhak melakukan hadhanah.
Yang berhak melakukan HadhanahYang lebih berhak melaksanankan hadhanah itu (dikala ibu yang melahirkan tidak ada) ialah mereka yang tersebut seperti urutan dibawah ini.
·         Ibu, ibu dari ibu dan seterusnya menurut garis lurus keatas.
·         Ibu dari bapak dan seterusnya menurut garis lurus keatas.
·         Saudara perempuan.
·         Saudara perempuan dari ibu.
·         Anak perempuan dari saudara perempuan.
·         Anak perempuan dari saudara laki-laki.
·         Saudara perempuan dari bapak.
Jika tidak ada yang melakukan hadhanah dari pihak wanitan dan laki-laki maka yang kewajiban mwlakukan hadhanah adalah pemerintah

c.       Syarat Hadhanah (menjadi pendidik)
·         Berakal
·         Merdeka
·         Menjalankan agama
·         Dapat menjaga kehormatan dirinya
·         Orang yang dipercayai
·         Orang yang menetap didalam negeri anak yang dididiknya.
·         Keadaan perempuan tidak bersuami, kecuali kalau dia bersuami dengan keluarga dari anak yang memang berhak untuk mendidik anak itu, maka haknya tetap.

d.      Masa Hadahanah
Mahzab hanafi mengatakan:
·         Masa hadhanah anak laki-laki terakhir pada saat anak itu tidak memerlukan penjagaan dan dapat mengurus keperluan diri sendiri seperti makan, minum, mengatur pakaian membersihkan tempatnya dan sebagainya.
·         Masa hadhanah anak perempuan berakhir apabila ia telah baliq atai datang masa haid pertamanya.






G.      Rujuk
a.       Pengertian rujuk.
 Yang dimaksud  rujuk adalah mengembalikan ikatan dan hukum perkawinan  secara penuh setelah terjadi talak raj’i, yang dilakukan oleh mantan suami kepada mantan istrinya dalam masa iddah.
Hak bekas suami merujuk bekas istrinya yang dithalak raj’i ditegaskan oleh firman Allah swt.




Artinya: ..dan suami mereka lebih berhak merujukinya dalam masa menunggu itu jika mereka (para suami) itu menghendaki damai.” (QS Al-Baqarah : 228)

a.       Hukum rujuk.
Hukum rujuk bisa menjadi:
·         Haram, apabila dengan rujuk pihak istri dirugikan.
·         Makruh, apabila diketahui bahwa meneruskan perceraian lebih bermanffat bagi keduanya jika dibandingkan dengan rujuk.
·         Sunnah, apabila diketahui dengan rujuk lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan meneruskan perceraian.
·         Wajib, apabila bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu jika salah seorang dithalak sebelum gilirannya disempurnakan.

b.      Rukun dan  syarat rujuk.
1.      Istri dengan syarat :
·         Sudah digauli oleh suaminya. Jika belum digauli kemudian ditalak. Maka jatu talak ba’in sugrah, maka tidak boleh dirujuk oleh mantan suaminya.
·         Talak yang dijatuhkan adalah talak raj’i bukan talak ba’in, khuluk dan fasakh.
·         Masih dalam masa iddah.

2.      Suami dengan syarat :
·         Baligh
·         Sehat akalnya
·         Atas kamauan sendiri (tidak dipaksa)

3.      Shighat (ucapan) rujuk
Shighat ini bisa dengan terang-terangan dan bisa pula dengan sindiran.

4.      Saksi
Allah swt berfirman :





Artinya : “ apabila mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian karena Allah....” (QS Ath-Thalak :2)

c.       Hikmah rujuk.
Islam memberikan kesempatan kepada bekas pasangan suami istri untuk rujuk kembali, selama talak yang dijatuhkan suami adalah talak raj’i. Sebab dibalik kebolehan rujuk ini terdapat nilai-nilai positif, baik bagi bekas pasangan tersebut maupun anak-anaknya. Diantara nilai-nilai positif tersebut adalah:
1.      Sebagai sarana untuk mempertimbangkan kembali perceraian yang telah dilakukan.
2.      Sebagai sarana untuk mempertanggungjawabkan anak-anak mereka secarabersama-sama.
3.      Sebagai sarana untuk menjalin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasaangan tersebut lebih hati-hati dan saling menghargai.
4.      Rujuk berarti juga ishlah yaitu perbaikan hubungan  antara dua manusia atau lebih.
5.      Rujuk akan menghindari perpecahan hubungan kekerabatan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan                                                    
Pernikahan adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam.  Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga  yang bahagia dan  mendapatkan  keturunan yang sah.  Nikah adalah fitrah yang berarti   sifat  asal  dan  pembawaan  manusia sebagai   makhluk    Allah SWT.
Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan  rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat. Hukum nikah pada  dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum, nikah dapat     berubah menjadi sunah, wajib,makruh,atau haram.   
Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (prig terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.

B. Saran
Pernikahan merupakan suatu ikatan  yang  menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dalam  mendapatkan keturunan yang sah.  
Maka  dari  itu,  kita   harus mengetahui segala sesuatu, mulai dari hukum nikah, rukun nikah, kewajiban suami istri setelah menikah, hikmah menikah, agar kita tidak sekali-kali bila ada kesalah pahaman   di  dalam  keluarga jangan terus membuat keputusan untuk bercerai, karena bercerai itu tidak disukai oleh Allah SWT.











DAFTAR PUSTAKA


Dr. Hafsah. Fikih. Bandung :Citapustaka Media Perintis, 2013.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : PT Sinar Baru Algensindo, 2013.
Suparta, HM dan Djedjen Zainuddin. Fiqih. Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004.
Sayid Sabiq. Fiqh Al-Sunnah. Jilid 2 dan 3, Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004.
Sulaiman Rasyid. Fiqh Islam, AT-Tahiriyah. Jakarta, Cetakan ke 18. 1981.



[1] HM. Suparta dan Djedjen Zainuddun, Fikih, Semarang : PT Toha Putra, 2004, hlm. 72.
[2] Dr. Hafsah , Fikih, Bandung : Citapustaka Media Perintis, 2013.hlm.  126.
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2013, hlm. 393.
[4][4] Dr. Hafsah, hlm. 133.
[5] Hm . Suparta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih, hlm.104-106

No comments:

Post a Comment