MAKALAH MUNAKAHAT DALAM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“FIKIH”
Disusun Oleh:
Kelompok VII
Ø
Fuji Lestari
Ø
Herlinda Suara
Ø
Hermawati
Ø
Hilma Ramadhani Siagian
Ø
Musthafa
MANAJEMEN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (MPI-3)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
ISNTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KATA
PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Rahmat taufik dan hidayah –
Nya sehingga Penulisan Makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah kami ini berjudul “MUNAKAHAT “, didalam Makalah
kami ini terdapat beberapa pembahasan diantaranya, Pengertian Pernikahan,
Tujuan Pernikahan, Mahar, Batalnya Pernikahan, Hak dan kewajiban suami dan
istri, Pemeliharaan anak dalam Pernikahan dan Rujuk.
Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, itu
dikarenakan kemampuan kami yang terbatas. Namun berkat bantuan dan dorongan
serta bimbingan dari Dosen Pembimbing serta berbagai bantuan dari berbagai pihak, akhirnya pembuatan makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Kami berharap dengan penulisan
makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami sendiri dan bagi para pembaca
pada umumnya serta semoga dapat menjadi bahan pertimbangan dan meningkatkan
prestasi dimasa yang akan datang.
Medan, November
2013
Pemakalah
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................. i
Daftar isi....................................................................................................................... ii
Bab I
Pendahuluan
A.
Latar belakang............................................................................................... 1
B.
Rumusan masalah.......................................................................................... 1
Bab II
Pembahasan
A.
Pengertian Pernikahan................................................................................... 2
B.
Tujuan Pernikahan......................................................................................... 6
C.
Mahar............................................................................................................ 7
D.
Batalnya Pernikahan...................................................................................... 8
E.
Han dan Kewajiban Suami dan Istri............................................................. 9
F.
Pemeliharaan Anak dan Perwalian.............................................................. 10
G.
Rujuk........................................................................................................... 12
Bab III
Penutup
A.
Kesimpulan.................................................................................................. 14
B.
Saran............................................................................................................ 14
Daftar
Pustaka...........................................................................................................
15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG.
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar pernikahan adalah nikah. Menurut kamus bahasa Indonesia,
kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Pernikahan adalah suatu lembaga
kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam.
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki
dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dalan mendapatkan
keturunan yang sah. Nikah adalah fitrah
yang berarti sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Dalam usaha
meleburkan suatu bentuk hukum dalam dunia hukum Islam Indonesia.
Tentunya kita ingin mengetahui lebih dalam darimana asal konsep hukum yang
diadopsi oleh Departemen Agama RI tersebut yang kemudian menjadi produk hukum
yang lazim disebut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, dan diantara materi
bahasannya adalah rukun dan syarat pernikahan yang akan coba kita pelajari perbandingannya
dengan fikih munakahat.
Terpenuhinya
syarat dan rukun suatu pernikahan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan
tersebut baik menurut hukum agama/fiqih munakahat atau pemerintah
(Kompilasi Hukum Islam). Bila salah satu syarat atau rukun tersebut tidak
terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut fikih munakahat atau
Kompilasi Hukum Islam, menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan salah
satunya.
B. RUMUSAN MASALAH
·
Pengertian, Tujuan dan Mahar
Pernikahan
·
Batalnya Pernikahan
·
Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
·
Pemeliharaan anak dan Perwalian
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pernikahan
Secara
bahasa (etimologi), nikah mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan,
menjodohkan, atau bersenggamah (wath’i). Dalam istilah bahasa indonesia, nikah
sering disebut dengan “kawin”.[1]
Dalam Pasal
1 Bab I, UU perkawinan No. 1 tahun 1974, Perkawinan atau Pernikahan di
definisikan sebagai berikut :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”
Perkawinan
atau pernikahan adalah : “Ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan
kepada tuntunan agama.” Ada juga yang mengartikan “Suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara seorang pria dan
wanita untuk menhalalkan hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah
yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syari’at Islam”.
Ijab ialah suatu
pernyataan berupa penyerahan dari seorang wali perempuan atau wakilnya kepada
seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun yang telah
ditentukan oleh syara’. Qabul
ialah suatu pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap
pernyataan wali perempuan atau wakilnya sebagaimana dimaksud diatas.
Nikah adalah
salah satu sendi pokok pergaulan bermasyarakat. Oleh karena itu, agama
memerintahkan kepada umatnya untuk melangsungkan pernikahan bagi yang sudah
mampu, sehingga malapetaka yang diakibatkan oleh perbuatan terlarang dapat
dihindari. Allah swt berfirman dalam ( QS. An-nisa’ : 3)
Artinya :
“Nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua,tiga,
atau empat, kemudian jika tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah)
seorang saja.”
1.
Hukum Pernikahan
Para fuqaha
mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi
pelakunya :
·
Wajib, bila nafsu
mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
·
Sunnah, bila nafsu
mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
·
Mubah, bila tak
ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang
mengharamkan menikah.
·
Makruh, bila nafsu
tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
·
Haram, bila nafsu
tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
2.
Pengertian dan hukum khitbah
Yang
dimaksud dengan meminang atau khitbah atau melamar adalah pernyataan atau
ajakan untuk menikah dari pihak laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya
dengan cara yang baik.
·
Perempuan yang akan dipinang harus
memiliki syarat sebagai berikut :
ü
Tidak terikat oleh akad pernikahan
ü
Tidak berada dalam masa iddah talak
raj’i
ü
Bukan pinangan laki-laki lain
·
Cara mengajukan pinangan
ü
Pinangan kepada gadis atau janda
yang sudah habis masa iddahnyan boleh dinyatakan secara terang-terangan.
ü
Pinangan kepada janda yang masih
dalam thalaq bain atau iddah ditinggal
wafat suaminya, tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Pinangan kepada
mereka hanya dilakukan secara sindiran saja.
3.
Pengertian Mahram Nikah dan
Pembagiannya
Yang
dimaksud dengan mahram adalah perempuan-perempuan yang haram atau tidak boleh
dinikahi, baikdisebabkan oleh faktor keturunan, persusuan, maupun perkawinan.
·
Faktor keturunan
1)
Ibu
2)
Ibu dari Ibu (nenek) dan seterusnya keatas
3)
Anak, cucu dan seterusnya kebawah
4)
Saudara perempuan kandung, saudara
perempuan seayah dan saudara perempuan seibu
5)
Saudara perempuan ayah
6)
Saudara perempuan ibu
7)
Anak perempuan dari saudara
laki-laki dan seterusnya ke bawah
8)
Anak Perempuan dari saudara
perempuan dan seterusnya kebawah
·
Faktor Persusuan
1)
Ibu yang menyusui
2)
Saudara perempuan sepersusuan
·
Faktor Perkawinan
1)
Ibu dari istri (mertua)
2)
Anak tiri jika ibunya sudah digauli
3)
Istri dari anak (menantu)
4)
Istri bapak (ibu tiri)
4.
Rukun dan Syarat Nikah
1)
Calon suami dengan syarat sebagai
berikut :
1)
Muslim
2)
Merdeka
3)
Berakal
4)
Benar-benar laki-laki
5)
Adil
6)
Tidak beristri empat
7)
Tidak mampunyai hubungan mahram
dengan calon istri
8)
Tidak sedang berihram haji atau
umrah
2)
Calon istri dengan syarat sebagi
berikut:
1)
Muslimah atau benar-benar perempuan
2)
Telah mendapat izin dari walinya
3)
Tidak bersuami atau tidak dalam masa
iddah
4)
Tidak mempunyai hubungan mahram
dengan calon suami
5)
Tidak sedang berihram haji atau
umrah
3)
Shighat (ijab dan qabul) dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Lafadz ijab qabul harus lafadz nikah
atau tazwij
2)
Lafadz ijab qabul bukan kata-kata
kinayah (kiasan)
3)
Lafadz ijab qabul tidak dita’lilkan
(dikaitkan) dengan suatu syarat tertentu.
4)
Lafadz ijab qabul harus terjadi pada
satu majlis. Maksudnya lafadz ijab qabul harus segera diucapkan setelah ijab.
4)
Wali calon pengantin perempuan,
dengan syarat sebagai berikut:
1)
Muslim
2)
Berakal
3)
Tidak fasik
4)
Laki-laki
5)
Mempunyai hak untuk menjadi wali
5)
Dua orang saksi, dengan syarat
sebagai berikut:
1)
Muslim
2)
Baligh
3)
Berakal
4)
Merdeka
5)
Laki-laki
6)
Adil
7)
Pendengarannya dan penglihatannya
sempurna
8)
Memehami bahasa yang diucapkan dalam
ijab qabul
9)
Tidak sedang mengerjakan ihram haji
atau umrah.[2]
5.
Macam-macam pernikahan Terlarang
1)
Nikah mut’ah ialah nikah yang
diniatkan hanya untuk bersenang-senang dan hanya untuk jangka waktu tertentu.
2)
Nikah syighar adalah pernikahan yang
didasarkan kepada janji atau kesepakatan penukaran
3)
Nikah muhallil yaitu pernikahan yang
dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk menghalalkan perempuan yang
dinikahinya agar dinikahi lagi oleh mantan suaminya yang telah mentalak tiga.
4)
Pernikahan silang adalah pernikahan
antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama atau keyakinan.
5)
Pernikahan khadan (gundik atau
piaraan baik laki-laki yang dijadikan wanita sebagai gundik maupun wanita yang
menjadikan laki-laki sebagai gundik)
B. Tujuan Pernikahan
Islam begitu
menekankan lembaga pernikahan. Tentu saja ada tujuan yang jelas. Secara umum
menerima baik lembaga pernikahan agar setiap orang memperoleh perrsiapan dan
perasaan seksual. Sebagai mekanisme untuk mengurangi ketegangan, membiarkan
keturunan dan kedudukan sosial seseorang secara absah, serta memperkuat
pendekatan dalam keluarga dan solidaritas kelompok.
Sepintas
boleh jadi ada yang berkata, apalagi
muda mudi, bahwa “pemenuhan kebutuhan
seksual merupakan tujuan utama pernikahan, dan dengan demikian demikian fungsi utamanya adalah reproduksi”.
Tingakatan
dari nilai suatu pernikahan memang berbeda-beda dan islam justru bertujuan
untuk meningkatkan derajat manusia itu lewat pernikahan, menciptakan ketenangan
dan melahirkan keturunan atas dasar cinta dan kasih sayang. Menurut Harun
Nasution perkawinan tidak berdasarkan dengan cinta dan kasih sayang, apalagi
yang dipaksakan tidak akan mewujudkan
kebahagiaan yang kokoh sendinya. Perselisihan dan percecokan akan timbul dalam
keluarga yang demikian. Kebahagiaan yang menjadi tujuan hidup berkeluarga tidak
tercapai.
Tujuan utama
pernikahan dalam islam adalah :
1.
Untuk memenuhi Tuntunan
naluri manusia yang Asasi
2.
Untuk Membentengi Ahlak Yang
Luhur
3.
Untuk Menegakkan Rumah
Tangga Yang Islami
4.
Untuk Meningkatkan Ibadah
Kepada Allah
5. Untuk
Mencari Keturunan Yang Shalih
C. Mahar
Mahar atau
maskawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir
kepada istri dan anak-anaknya, baik berupa uang atau barang (harta benda). Sebagai suatu pemberian yang
wajib dari seorang calon suami yang muslim untuk calon istrinya, mahar dalam
Al-quran diungkapkan dalam firman Allah QS An-nisa’ : 4
Artinya :
“Berikan maskawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan”.
Pemberian maskawin ini wajib atas
laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah; dan apabila tidak disebutkan pada
waktu akad, pernikahan itu pun sah.[3]
Agama menganjurkan agar mahar dibrikan merupakan sesuatu berbentuk materi,
karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan
perkawinan sampai memiliki kemampuan.
Banyaknya maskawin itu tidak
dibatasi oleh syariat islam,melainkan menurut kemampuan suami beserta keridaan
istri. Sungguhpun demikian, suami hendaklah benar-benar sanggup membayarnya;
karena mahar itu apabila telah ditetapkan, maka jumlahnya menjadi hutang atas suami,
dan wajib dibayar sebagaimana halnya utang kepada orang lain.
Telah
merupakan suatu kenyataan bahwa dengan tidak ditentukannya jumlah suatu mahar
secara tetap maka memberikan gambaran bahwa perkawinan itu bukan suatu yang
sulit dan mahal.
Sekalipun kadar mahar tidak
ditentukan, namun sebagai pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri,
mahar yang dikemukakan oleh Al-Jaziri mempunyai beberapa syarat :
1)
Benda yang mempunyai nilai
2)
Benda yang suci dan dapat
dimanfaatkan.
3)
Benda mahar bukan sedang dirampok
orang yang tidak sanggup menyerahkannya, maka mahar itu tidak sah sekalipun
akadnya tetap sah. Dan untuk wanita itu jatuh menjadi mahar mitsil.
4)
Benda mahar itu bukan benda yang
tidak diketahui ciri-cirinya misalnya: pakaian, hewan tunggangan atau hewan
sembelihan. Tanpa menjelaskan cirinya. Maka mahar wanita itu jatuhnya menjadi
mahar mitsil.
Selain itu,
pembayaran mahar boleh dilakukan dengan tunai dan boleh dilakukan dengan hutang
(ditangguhkan) seluruhya disamping dibenarkan pula membayar sebahagian yang
lain. Dalam hal ini suami yang kemudian menceraikan istrinyapadahal ia belum
melakukan hubungan seksual dengan istrinya itu ia hanya berkewajiban untuk
membayar separoh saja dari jumlah mahar yang telah ditentukan. Tapi bagi suami
yang pernah menggauli istrinya kemudian cerai atau tidak cerai dia tetap
kewajiban membayar semua mahar.[4]
Menyegerahkan
pembayaran mahar merupakan salah satu perbuatan yang dianjurkan oleh syariat.
Bahkan menurut sebahagian ulama, diantaranya Ibn Al-Muhzir, seorang istri yang sama sekali belum menerima pemberian mahar
dari suaminya, dibenarkan tidak berdosa menolak ajakan suami untuk melakukan
hubungan seksual.
D. Batalnya Pernikahan
Tentang batal
atau tidak berlakunya pernikahan ialah apabila ternyata laki-lakinya menipu
wanitanya atau wanita menipu laki-lakinya. Misalnya laki-laki yang mandul
sehigga tidak mungkin dapat memiliki anak. Sementara wanita sebelumnya tidak
mengetahui maka dalam hal ini wanita itu berhak membatalkan pernikahannya dan
meminta fasakh. Kecuali kalau wanitanya tetap real dan ingin bergaul dengan
laki-laki tadi, dalam keadaan mandul yang telah mengawininya. Seorang perempuan
“memberitahukan kepadanya kemandulanmu itu serahkanlah kepadanya untuk
menentukannya”.
Bentuk penipuan lain seorang laki-laki ingin menikahi
wanita, secara lahirinyah kelihatan jujur, tetapi kemudian ternyata ia adalah
pasik. Demikian juga halnya perkawinan dianggap batal apabila ternyata kemudian
suami menemukan istri mempunyai cacat yang mengurangi kemampuan pergaulan suami
istri. Sedangkan cacat pada laki-laki yang boleh dijadikan dasar membatalkan
perkawinan ialah penyakit-penyakit yang menjijikan seperti burik, gilak, dan
kusta, lemah sahwat, kemaluannya buntung atau kecil.
Ada juga para ulama yang berpendapat bahwa suatu
perkawinan tidak dapat dibatalkan karena adanya cacat. Walau bagaimana pun
cacatnya.
E. Hak dan kewajiban Suami dan Istri
Adanya pernikahan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban yang
tidak ada sebelumnya. Antara hak dan kewajiban saling ada keterkaitan.
Kewajiban suami kepada istri menjadi hak bagi istri dan kewajiban istri kepada
suami menjadi hak bagi suami. Secara garis besar hak dan kewajiban suami dan
istri dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1)
Kewajiban suami (hak istri)
a.
Membayar mahar.
b.
Memberikan nafkah dengan ma’ruf
(baik) baik berupa pangan, sandang, papan, kesehatan dan lain-lain.
c.
Menggauli istri dengan ma’ruf
(mu’asyarah bil-ma’ruf) yaitu dengan cara-cara yang penuh kasih dan sayang
karena Allah Ta’ala.
d.
Memimpin keluarga sehingga terbentuk
keluarga yang harmonis.
e.
Mendidik dan membimbing seluruh
anggota keluarga kejalan yan benar.
f.
Adil dan bijaksana terhadap anggota
keluarga.
2)
Kewajiban istri (hak suami)
a.
Mentaati suami jika meminta atau
memerintah, kecuali jika memerintahkan kepada perbuatan yang munkar.
b.
Menjaga diri dan kehormatan
keluarga.
c.
Menjaga harta dan kepunyaan suami.
d.
Mengatur rumah tangga.
e.
Mendidik anak.
3)
Kewajiban bersama
a.
Menjaga nama baik seluruh anggota
keluarga.
b.
Menghormati dan berbuat baik kepada
keluarga keduanya.
c.
Memelihara kepercayaan diri dan
menyimpan rahasia rumah tangga dan memelihara keutuhannya.
d.
Mewujudkan pergaulan yang serasi,
rukun, damai dan saling pengertia.
e.
Memelihara dan mendidik anak dengan
penuh kasih sayang.
f.
Memaafkan kesalahan orang lain.
g.
Sabar dan menyadari kekurangan yang
ada pada diri masing-masing.
h.
Bijaksana dalam memecahkan masalah
keluarga.[5]
F.
Pemeliharaan
Anak dan Perwalian
Salah satu
tujuan yang berhak dicapai oleh agama islam denngan mensyariaatkan pernikahan
adalah lahirnya anak sebagai pelanjut keturunan, bersih keturunannya, jelas bapaknya dengan
perkawinan ibunya. Dengan demikianlaj jelaslah yang bertanggung jawab terhadap
anak itu dalam menjaga, membesarkan, mendidik sehingga menjadi seorang anak
yang saleh kelak kemudian hari, dikala ia telah mukallaf. Karena syariat islam
melarang segala perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya bapak seorang anak,
seperti perbuatan zina, pergaulan bebas laki-laki dan perempuan dan segala
perbuatan yang dapat mengarah kepada hal tersebut.
a.
Pengertian Hadhanah
Hadhanah berasalah dari kata “hidhn”
yang artinya bagian samping tubuh yang bisa dipergunakan untuk menggendong anak
kecil. Dalam kaitan dengan kehidupan rumah tangga Hadhanah dipergunakan sebagai
istilah dengan pengertian mengasuh,
memelihara dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz.
“Hadhanah” menurut bahasa berarti
meletakkan sesuatu dekat dengan tulang rusuk atau pangkuan. Sedangkan menurut
istilah ialah Pendidikan dan pemeliharaan anak sejak ia lahir sampai ia sanggup
berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan kerabat anak itu.
b.
Yang berhak melakukan hadhanah.
Yang berhak melakukan HadhanahYang
lebih berhak melaksanankan hadhanah itu (dikala ibu yang melahirkan tidak ada)
ialah mereka yang tersebut seperti urutan dibawah ini.
·
Ibu, ibu dari ibu dan seterusnya
menurut garis lurus keatas.
·
Ibu dari bapak dan seterusnya
menurut garis lurus keatas.
·
Saudara perempuan.
·
Saudara perempuan dari ibu.
·
Anak perempuan dari saudara
perempuan.
·
Anak perempuan dari saudara
laki-laki.
·
Saudara perempuan dari bapak.
Jika tidak ada yang melakukan
hadhanah dari pihak wanitan dan laki-laki maka yang kewajiban mwlakukan
hadhanah adalah pemerintah
c.
Syarat Hadhanah (menjadi pendidik)
·
Berakal
·
Merdeka
·
Menjalankan agama
·
Dapat menjaga kehormatan dirinya
·
Orang yang dipercayai
·
Orang yang menetap didalam negeri
anak yang dididiknya.
·
Keadaan perempuan tidak bersuami,
kecuali kalau dia bersuami dengan keluarga dari anak yang memang berhak untuk
mendidik anak itu, maka haknya tetap.
d.
Masa Hadahanah
Mahzab hanafi mengatakan:
·
Masa hadhanah anak laki-laki
terakhir pada saat anak itu tidak memerlukan penjagaan dan dapat mengurus
keperluan diri sendiri seperti makan, minum, mengatur pakaian membersihkan
tempatnya dan sebagainya.
·
Masa hadhanah anak perempuan
berakhir apabila ia telah baliq atai datang masa haid pertamanya.
G. Rujuk
a.
Pengertian rujuk.
Yang
dimaksud rujuk adalah mengembalikan
ikatan dan hukum perkawinan secara penuh
setelah terjadi talak raj’i, yang dilakukan oleh mantan suami kepada mantan
istrinya dalam masa iddah.
Hak bekas
suami merujuk bekas istrinya yang dithalak raj’i ditegaskan oleh firman Allah
swt.
Artinya:
..dan suami mereka lebih berhak merujukinya dalam masa menunggu itu jika mereka
(para suami) itu menghendaki damai.” (QS Al-Baqarah : 228)
a.
Hukum rujuk.
Hukum rujuk
bisa menjadi:
·
Haram, apabila
dengan rujuk pihak istri dirugikan.
·
Makruh, apabila
diketahui bahwa meneruskan perceraian lebih bermanffat bagi keduanya jika
dibandingkan dengan rujuk.
·
Sunnah, apabila
diketahui dengan rujuk lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan meneruskan perceraian.
·
Wajib, apabila
bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu jika salah seorang dithalak
sebelum gilirannya disempurnakan.
b.
Rukun dan syarat rujuk.
1.
Istri dengan syarat :
·
Sudah digauli oleh suaminya. Jika
belum digauli kemudian ditalak. Maka jatu talak ba’in sugrah, maka tidak boleh
dirujuk oleh mantan suaminya.
·
Talak yang dijatuhkan adalah talak
raj’i bukan talak ba’in, khuluk dan fasakh.
·
Masih dalam masa iddah.
2.
Suami dengan syarat :
·
Baligh
·
Sehat akalnya
·
Atas kamauan sendiri (tidak dipaksa)
3.
Shighat (ucapan) rujuk
Shighat ini bisa dengan
terang-terangan dan bisa pula dengan sindiran.
4.
Saksi
Allah swt berfirman :
Artinya : “ apabila mereka mendekati
akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah dengan baik
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian karena Allah....” (QS Ath-Thalak :2)
c.
Hikmah rujuk.
Islam memberikan kesempatan kepada
bekas pasangan suami istri untuk rujuk kembali, selama talak yang dijatuhkan
suami adalah talak raj’i. Sebab dibalik kebolehan rujuk ini terdapat
nilai-nilai positif, baik bagi bekas pasangan tersebut maupun anak-anaknya.
Diantara nilai-nilai positif tersebut adalah:
1.
Sebagai sarana untuk
mempertimbangkan kembali perceraian yang telah dilakukan.
2.
Sebagai sarana untuk
mempertanggungjawabkan anak-anak mereka secarabersama-sama.
3.
Sebagai sarana untuk menjalin
kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasaangan tersebut lebih
hati-hati dan saling menghargai.
4.
Rujuk berarti juga ishlah yaitu
perbaikan hubungan antara dua manusia
atau lebih.
5.
Rujuk akan menghindari perpecahan
hubungan kekerabatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan
adalah suatu lembaga kehidupan yang disyariatkan dalam agama Islam. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang
menghalalkan pergaulan laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan mendapatkan
keturunan yang sah. Nikah adalah
fitrah yang berarti sifat asal
dan pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT.
Tujuan
pernikahan adalah untuk mewujudkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Hukum nikah pada dasarnya adalah mubah,
artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian, hukum,
nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib,makruh,atau
haram.
Tujuan
pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia (prig terhadap
wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia
sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama Islam.
B. Saran
Pernikahan
merupakan suatu ikatan yang menghalalkan pergaulan laki-laki dengan
seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia dalam mendapatkan keturunan yang sah.
Maka dari
itu, kita harus mengetahui segala sesuatu, mulai dari
hukum nikah, rukun nikah, kewajiban suami istri setelah menikah, hikmah
menikah, agar kita tidak sekali-kali bila ada kesalah pahaman di
dalam keluarga jangan terus
membuat keputusan untuk bercerai, karena bercerai itu tidak disukai oleh Allah
SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Hafsah. Fikih. Bandung :Citapustaka
Media Perintis, 2013.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung : PT
Sinar Baru Algensindo, 2013.
Suparta, HM dan Djedjen Zainuddin. Fiqih.
Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004.
Sayid Sabiq. Fiqh Al-Sunnah. Jilid 2 dan
3, Semarang : PT Karya Toha Putra, 2004.
Sulaiman Rasyid. Fiqh Islam, AT-Tahiriyah.
Jakarta, Cetakan ke 18. 1981.
[1] HM.
Suparta dan Djedjen Zainuddun, Fikih,
Semarang : PT Toha Putra, 2004, hlm. 72.
[2] Dr.
Hafsah , Fikih, Bandung : Citapustaka
Media Perintis, 2013.hlm. 126.
[3] Sulaiman
Rasjid, Fiqh Islam, Bandung : Sinar
Baru Algensindo, 2013, hlm. 393.
[4][4] Dr. Hafsah, hlm. 133.
[5] Hm
. Suparta dan Djedjen Zainuddin, Fiqih,
hlm.104-106
No comments:
Post a Comment